Patrisius Dua Witin,CP
Refleksi
“Economia Salutis Versus Salus Per Economiam”
Ada sebuah canda ringan di saat pertemuan keluarga, teman saya mengatakan kepada kakek dan neneknya yang sudah tua renta bahwa jika kakek dan nenek ini dijual dengan harga murah, orang tak mungkin mau membelinya. Lain halnya dengan seorang bapak yang tidak pernah ke gereja bertahun-tahun dan pada saat saya bertemu dengannya, ia mengatakan bagaimana mungkin kami berdoa dengan baik jika perut kami sedang meronta kelaparan. Agak berbeda dengan seorang pemuda yang saya memintai bantuannya, beliau langsung bercanda dengan istilah Jawa, “wani piro”. Bagi saya, canda-canda ini menghasilkan sebuah renungan panjang untuk menilai ekonomi modern yang perlahan-lahan akan mengubah peradapan manusia untuk menjadikan uang sebagai satu-satunya alat keselamatan bagi dirinya. Segala-galanya diukur menurut nilai mata uang termasuk tubuh manusia yang disebut mulia karena serupa dengan gambar wajah Allah.
Bernardo Pѐrez Andreo,
teolog Amerika Latin dalam artikelnya “Economia Salutis Versus Salus Per Economiam” mengatakan bahwa uang
adalah idola (Yunani: Ƹȉδωλον = eidolon) yang tidak hanya
menentukan nilai barang dan jasa tetapi termasuk οmanusia dinilai menurut mata
uang. Uang bukan alat trasaksi yang sederhana tetapi lebih dari itu adalah
asuransi jiwa bagi sang pemilik dan itu adalah kekuatan sucinya. Kita tahu
bahwa sejak abad ke-15, uang telah menjadi Tuhan yang profan, dia adalah dewa
palsu, berhala, dan bahkan tersimpan banyak akar kejahatan.
Pemilu tahun 2024 di Indonesia berakhir dengan kegaduhan di MK yang juga
melibatkan saksi ahli yakni sang filsuf Etika
Rm. Frans Magnis Suzeno justru mengingatkan kepada saya betapa besarnya
kemahakuasaan uang untuk dapat membeli penggelapan kekuasaan, hukum,
konstitusi, etika dan moral. Oleh karena itu, uang tentu akan menjadi alat
keselamatan bagi tubuhnya (salus per economiam) dan bukan bagi jiwanya. Barangkali
ini merupakan sebuah perubahan peradapan baru yang secara sistemik menggerus
fundasi realitas kemanusiaan kita yang paling mulia yakni tatanan proyek keselamatan (economia salutis)
sebagaimana yang tertuang dalam LG. 9. Oleh karena itu, dibutuhkan
kehati-hatian ketika memasuki area “ekonomi politik” agar tidak terjerumus
dalam praktek penyimpangan di atas. Menurut St. Thomas Aquinas, Kehati-hatian
adalah seni membedakan yang baik dari yang jahat misalnya dalam bidang ekonomi
dan politik, kehati-hatian diperlukan untuk membedakan yang baik dari yang
jahat dalam penyelenggaraan umum. Oleh karena itu Thomas Aquinas memperingatkan
bahwa kekayaan mengacuh pada kehati-hatian ekonomi sebagai sarana dan bukan
tujuan. Cara untuk memperoleh kekayaan harus tunduk pada kebenaran dan
kebajikan. Memperoleh kekayaan dalam penyelenggaraan pemilu 2024 di atas tentu
merupakan kontra produktif dari teori kehati-hatian ekonomi politik karena
secara nyata melabrak kebenaran dan kebajikan.
Pada zaman ini, mungkin diperlukan
mujizat metanoia untuk meruntukan peradapan baru yang sedang dibangun
secara sistemik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Persolannya apakan ada
mujizat seperti itu? Ini merupakan persoalan yang sama seperti seekor Unta
melewati lubang jarum. Uang bukankanlah dewa, Tuhan profan, idola, melainkan
sarana untuk mencapai kehidukan kekal. Berikanlah kepada Kaisar apa yang
menjadi hak Kaisar dan kepada Allah yang menjadi Hak Allah. Kehati-hatian
adalah filter untuk mencapai kebenaran dan kebajikan yang tentunya akan menjadi
asuransi akhir hidup. Asuransi yang tak
dapat binasa, yang tak dapat cemar, dan yang tak dapat layu, yang tersimpan di
surga bagi kalian (1 Petrus 1:4). Mujizat metanoia akan memungkinkan setiap
orang untuk melewati lubang jarum tetapi biarkanlah kesedihan orang-orang yang
tidak ingin mengikuti Yesus karena terikat dengan hartanya yang banyak.
Karena bagi kita sebagai pengikut
Kristus, “SALIB ADALAH ALAT KESELAMATAN KEKAL” yang tidak hanya menyelamatkan
tubuh melainkan menyelamatkan jiwa dan raga.
Terima kasih refleksinya pater. Luar biasa. Sangat membantu.👏👏😊 (aven,cp)
BalasHapus