Iklan

Sabtu, 15 Juni 2024

KERAJAAN ALLAH, APAKAH UTOPIA?

 

Refleksi

Minggu Biasa XI Tahun B

Patrisius Dua Witin, CP


Injil Markus 4:1- 41 menempatkan 4 metafora sekaligus yakni tentang penabur, pelita di bawah gantang, Benih yang tumbuh, dan tentang biji sesawi.  Semua metafora ini dimaksudkan untuk semua orang tetapi pada bagian tertentu, kepada para rasul-Nya, Yesus memberikan penjelasan tambahan. Potongan Injil hari ini dalam bab yang sama menempatkan sekaligus 2 metafora dalam liturgi kita Minggu biasa XI Tahun B. Kedua perumpamaan hari ini tidak mendapat penjelasaan tambahan dari Yesus sendiri. Diharapkan agar para pendengar mampu menafsirkan maksud perumpamaan tersebut. Semua perumpamaan  ini bertujuan untuk memberi penekanan bahwa betapa pentingnya  KERAJAAN ALLAH. Tentu saja  kedua perumpamaan ini menjadi fokus perhatian kita pada Minggu ini.       

Bagian pertama adalah tentang menabur benih. Ini merupakan metafora yang paling unik dalam Injil Markus. Menabur benih sesungguhnya sangat tidak menguntungkan karena bisa saja benih itu jatuh pada tanah yang tidak diinginkan petani. Hal ini sangat berbeda dengan benih yang ditanam karena pasti petani memilih tanah yang subur, gembur, banyak air sehingga menghasilkan buah berlimpah. Yesus tetap mempertahankan ide perumpamaannya yaitu “Kerajaaan Allah seumpama orang yang menaburkan benih di tanah”. Uniknya bahwa malam hari ia tidur, siang hari ia bangun. Benih itu kemudian mengeluarkan tunas. Bagaimana itu terjadi, petani sama sekali  tidak tahu. Yang ia tahu adalah musim panen sudah tiba.

Saya teringat ketika bersama dengan seorang misionaris Italia bekerja di sebuah Paroki di pedalaman Kalimantan untuk melayani 71 stasi dengan jumlah umat 19.000 jiwa. Ini sangat mustahil untuk menjaga dan merawat umat sebanyak itu. Beliau katakan kepada saya pergilah dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus karena Tuhan sendirilah yang menjaga dan merawat sampai menghasilkan buah. Saya sangat percaya akan kata-kata ini dan benar hasilnya sungguh sangat memuaskan karena sekarang kita boleh memetik hasil. Paroki-paroki besar itu sama sekali tidak  terlantar bahkan umat semakin maju dalam hidup imannya. Kerajaan Allah diumpamakan seperti itu. Bagaimana mereka bertumbuh dan berkembang, pekerja tidak mengerti bahkan tidak tahu menahu tentang itu.  Yang saya tahu adalah sekarang sudah berkembang dan menghasilkan buah. Banyak orang yang saya baptis juga telah menjadi suster dan pastor.

Bagian kedua dari metafora ini adalah tentang “biji sesawi”. Standar ukuran terkecil untuk semua jenis benih pada saat itu adalah biji sesawi. Pada metafora ini yang dipersoalkan bukan pertumbuhan benih melainkan soal ukuran besar dan kecil benih yang memiliki daya tumbuh yang besar sampai burung-burungpun bersarang di sana. Kerajaan Allah diumpamakan seperti biji sesawi. Pada mulanya dianggap reme, kecil, tidak diperhitungkan dalam dunia pertanian tetapi hasilnya di luar dugaan bahwa biji terkecil itu bisa mengalahkan biji-biji besar.

Bagi saya orang Indonesia, biji sesawi barangkali tidak cocok untuk  dijadikan perumpamaan karena sangat kontras dengan pengalaman dunia pertanian di Indonesia. Jika biji sesawi yang dimaksudkan adalah sayur sawi maka sangat mustahil burung-burung bersarang di sana. Mungkin metafora biji sesawi dalam konteks indonesia yang bisa menjawab adalah biji pohon beringin. Tak seorangpun membuat pembibitan pohon beringin dari biji pohon beringin kecuali dengan mengokulasi. Kita tak pernah melihat biji pohon beringin menempel di batu dan kemudian tumbuh dan berkembang pada batu-batu besar ataupun di pohon-pohon besar. Yang kita tahu adalah ada pohon beringin di situ dan bertumbuh sangat pesat sampai burung-burungpun menetap di sana. Mustahil tetapi itulah terjadi. (Saya tidak bermaksud untuk mempolitisir metafora biji pohon beringin dengan partai Golkar yang berlambangkan pohon beringin  karena bukan itu maksud saya). Yang saya maksudkan adalah soal biji kecil yang disamakan dengan Kerajaan Allah dalam konteks Indonesia.

Ketika saya datang pertama kali di Kotenwalang  untuk memulai paroki ini, bagi saya ini mustahil. Jalanan yang sangat parah, betahun-tahun kami hidup dengan pelita tanpa ada penerangan listrik, tak ada jaringan telpon, tak ada WIFI, tak ada internet, yang saya tahu adalah ada manusia hidup di sana. Ini seolah-olah dipaksakan untuk menjadi sebuah paroki.  Bagi saya yang setia hidup di sana adalah sebuah mujizat karena selang beberapa tahun saja, jalanan diaspal, listrik negara juga masuk, tower-tower jaringan internet dipasang.

Inilah Kerajaan Allah yang diumpamakan dengan biji sesawi. Dulu yang dianggap kecil, terbelakang, tidak diperhitungkan, kini berkembang dengan sendirinya. Tuhan memberikan daya dobrak yang sangat pesat pada biji-biji kecil untuk menghasilkan sesuatu yang besar.

Persoalannya: Beranikah anda bertaruh dengan pengalaman-pengalaman iman seperti ini? Ataukah saya lari dari semua persoalan iman karena masih memperhitungkan soal untung rugi? Ketika anda masih bergulat dengan kalkulasi untung rugi Kerajaan duniawi, Tuhan sudah menetapkannya dan menghasilkan buah. Itulah Kerajaan Allah yang sesungguhnya.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar