Jumat, 23 Oktober 2015

KOTEN


Desa Koten, nama yang cukup asing bagi masyarakat Kabupaten Flores Timur. Bahkan banyak orang tak pernah mendengar nama ini. Persoalan dasar yang sering diajukan adalah ada apa dengan Koten? Koten nama sebuah kampong di Ujung Timur Pulau Flores, tepatnya di bagian kepala burung Pulau Flores. Nama Koten dalam bahasa daerah Lamaholot artinya Kepala. Karena letaknya di bagian kepala pulau Flores maka layak menyandang nama Koten. Dia  ada di atas semua yang ada di Flores Timur. Nama Koten juga merupakan sebuah nama suku besar yang ada di Flores Timur yang menempati urutan pertama. Koten adalah suku Kebelen dan harus disebut pertama sebelum suku-suku yang lain. Biasanya mereka menyebut “Koten-Kelen, Hurint – Maran. Empat suku yang tak dapat disebut secara terpisah tetapi “KOTEN” harus disebut yang pertama dari semuanya.
Persoalanya: Jika Koten menempati urutan pertama sesuai dengan namanya, mengapa selama ini pemerintah memandang sebelah mata sehingga Nama  Koten yang nota bene sebagai nama Kebelen ditelantarkan?  Masyarakat terisolir dari dunia luar. Mereka belum menikmati kemajuan yang berarti. Syukurlah pada masa pemerintahan bupati Felix Fernandes,  masyarakat dapat menikmati dunia pendidikan setelah dibangun SMP Negeri 2 Waiklibang sekaligus pembukaan jalan menuju Lewokoli, Koten, Kolontobo, Basira dan Tone. Itupun mereka harus mengeluarkan uang sekitar Rp. 500.000 hanya untuk transportasi ojek pergi pulang ke kota Larantuka. Belum ada transportasi umum masuk di wilayah ini menyebabkan transportasi sangat mahal. Pada musim kemarau mereka menghandalkan juga motor laut kecil dengan biaya yang sama menuju kota Reinha Larantuka.
Gereja telah membuka mata untuk wilayah ini dengan mempersiapkan pemekaran paroki Baru di Koten Walang. Ini merupakan langkah awal yang bagus untuk  mempersempit pelayanan pastoral dan pelayanan administrasi parokial. Akankah ada pemekaran Kecamatan Baru di Koten? Masyarakat sangat mengharapkan pemekaran Kecamatan di Koten demi pelayanan public sebagai warga Negara dapat dimaksimalkan. Dengan demikian “KOTEN” layak menyandang nama Koten (kepala) sesuai dengan  namanya.

Rabu, 21 Oktober 2015

ARAN SINA, FLORES TIMUR


Desa Aran Sina, Lewokoli, Kabupaten Flores Timur adalah salah satu desa terjauh di wilayah Kecamatan Waiklibang. Desa yang letaknya disekitar kepala burung pulau Flores ini dijuluki sebagai tanjung bunga. Keindahan dan pesona alam laut menghiasi wilayah ini sehingga layak menyandang predikat tanjung bunga. Tahun 1992 gempa bumi dan tsunami  memporakporandakan kampong Lewokoli  dengan merenggut nyawa 2 orang. Tragedi ini meninggalkan luka batin yang tak terlupakan bagi mayarakat sekitarnya seperti Lewokoli, Koten, Walang dan Tone. Akhirnya kampong Lewokoli berpindah tempat sedikit ke pegunungan hingga sekarang dengan nama desa “Aran Sina”. Meskipun sedikit ke pegunungan tetapi mata pencaharian sebagai orang laut tetap dilakukan seperti semula.
Kampung Lewokoli, desa Aran Sina adalah bagian dari pemekaran Calon Paroki Koten.  Meskipun mereka memiliki kapela terbuat dari dinding kneka tetapi tidak mengurangi semangat berdoa dan keterlibatan dalam hidup menggereja. Mereka hidup di wilayah terasing dengan dunia teknologi komunikasi. Mereka hanya mengharapkan signal telpon ketika ada kapal pelni melintas di wilayah koten dan sekitarnya. Ketika kapal itu menyebarkan signalnya, para penduduk setempat memanfaatkan jaringan tersebut untuk menghubungi anggota keluarga di luar daerah. Semakin orang mengalami kesulitan besar maka semakin besar juga daya juang untuk mempertahankan hidup. Dan inilah yang sedang dihadapi masyarakat desa Aran Sina Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. Masyarakat hanya mengharapkan pembangunan infratruktur dari pemerintah seperti Jalan, Listrik dan Jaringan telekomunikasi. Akankah ketika item keinginan masyarakat ini akan tercapai.?????????

Jumat, 09 Oktober 2015

DESA KOLOTOBO FLORES TIMUR


Kolotobo, nama sebuah desa terpencil di bagian ujung Timur kabupaten Flores Timur. Masyarakatnya hidup dari keterasingan dunia telekomunikasi dan fasilitas listrik. Mereka dapat bertahan untuk hidup  dengan menghandalkan pertanian lahan kering. Harapan satu-satunya adalah sedikit hujan di musim hujan untuk mengairi lahan pertanian mereka. Mata pencaharian utama adalah mengiris tuak untuk membuat minuman yang akan di jual  ke daerah sekitarnya. Pemerintah sedikit membuka mata pada saatnya bupati Felix Fernades, ketika beliau membuka jalan pertama kalinya menuju desa Kolotobo. Hingga sampai saat ini kami masyarakat Kolotobo dapat menikmati jalan menuju ke sana dengan sepeda motor. Itupun hanya orang tertentu yang mampu membeli sepeda motor. Memang wilayah kepala burung masih terisolasi termasuk beberapa desa di sekitarnya seperti Basira, Tone, Koten dan Lewokoli.
Mereka memiliki religiositas rakyat yang masih kental dengan budaya Lamaholot. Nuba Nara sebagai Tempat kramat pemujaan kepada leluhur masih ada di sana. Para tetua adat yang biasanya menceritakan (koda knalan) asal usul tanah Patisira dan asal usul leluhur mereka masih kuat dalam ingatan mereka. Bagaimanapun juga mereka dapat mengenal siapa  sesungguhnya mereka ketika mereka menempatkan dirinya dalam struktur budaya Lamaholot. Koten-Kelen –Hurint- Maran adalah nama-nama suku besar (kebelen) masih di agungkan di wilayah ini.
Persoalannya: apakah pemerintah membuka dan mengarahkan pandangannya ke wilayah kepala burung ini untuk membongkar keterasingan mereka untuk menemukan sesuatu yang baru di sana?