Senin, 31 Juli 2023

SALIB BUKAN MILIK ORANG KATOLIK

                                                                    (Refleksi Atas Kirab Salib IYD)

Oleh P. Patrisius Dua Witin, CP






Salib IYD bukan milik orang Muda Katolik,
  juga bukan milik orang Katolik tetapi Salib itu Milik Kristus. Yang punya Salib hanya Kristus, kita tidak punya Salib. Maka perarakan Salib dari  paroki ke paroki bukan Salib IYD tetapi “sekali lagi SALIB KRISTUS”.  Kristus lah yang digantungkan di kayu salib itu bukan siapa-siapa  yang digantungkan di sana. Oleh karena itu, kita harus mengarahkan  pandangan kita kepada Salib Kristus. 

Pada mulanya Kayu Salib dipakai untuk menghukum mati bagi orang-orang yang melakukan kejahatan besar. Hukuman yang paling memalukan karena orangnya sendiri memikul salibnya dan diarak menuju tempat penyaliban. Yesus disamakan dengan penjahat besar maka Dia dihukum mati dengan cara demikian. Peristiwa sejarah Salib Yesus yang kita renungkan pada hari raya Jumat Agung sesungguhnya telah membuka mata kita bahwa betapa dahsyatnya kesengsaraan yang dialami oleh Yesus di atas Salib.

Tragedi peyaliban Yesus di Golgota menyisakan  kenangan buruk  tentang kayu  salib yaitu menjijikn, menakutkan, memalukan karena di atas palang salib itulah Tuhan kita dihukum mati. Dan Palang Salib itulah yang menghancurkan iman kita tentang Yesus adalah guru dan Tuhan. Tentang Hal ini  Orang Yahudi dan orang Yunani tidak bisa menerima karena Salib Yesus Kristus dianggap sebagai suatu Kelemahan dan kebodohan Allah. Mereka tidak mengerti dan menerima bahwa Allah bisa mati di Kayu Salib. 

Persoalannya mengapa  Sampai saat ini, Salib menjadi daya tarik bagi banyak orang.  Dan kemudian Salib menjadi lambang utama orang Kristen. Semua gereja harus dipasang Salib. Menara menara gereja harus dipasang salib, Rumah orang Kristiani harus dipasang Salib, sebelum berdoa harus membuat tanda Salib, sebelum main bola orang membuat tanda salib, bahkan sebelum orang bertinju mereka buat tanda salib. Bahkan salib digantungkan di leher, Salib diarak di mana-mana termasuk kita di sini. Rasul Paulus dalam  bacaan pertama bilang begini  Bagi orang Yahudi dan Orang Yunani “salib adalah kelemahan dan kebodohan Allah. Orang Yunani  mencari kebijaksanaan  dan apakah mereka mampu menilai kebodohan ini? Justru dengan kebodohan Salib, Yesus Kristus menghukum, menyalibkan dan membinasakan kebijaksanaan orang Yunani yang sebenarnya adalah suatu kebodohan. Ia memilih kematian untuk membinasakan kematian (Kis, 26:23; Kol, 1:18; Rm, 6:19; 1 Kor 15:26), Ia memilih penghinaan untuk membinasakan penghinaan (Flp, 2:8-11), memilih perbudakan untuk meniadakan perbudakan (Kol, 2:14; 1Ptr, 1:18; 2:9), Ia memilih kutukan untuk menghilangkan kutukan (Gal, 3:13), Ia memilih sebagai pendosa untuk membinasakan pendosa (Rm, 8:3), Ia mengalahkan para penguasa yang menyalibkanNya (1 Kor, 2:6,8; Kol 2:15), Dengan demikian  Salib yang batu sandungan  menjadi daya yang menarik semua orang kepada-Nya (Yoh, 12:31-33).

Yesus bilang lagi begini “setelah Aku ditinggikan di atas Kayu Salib Aku akan menarik semua orang untuk datang kepadaKu”. Di siniah letak daya tarik Salib Kristus. Karena itu Salib menjadi dasar iman orang Kristiani. Saya menjadi katolik karena Percaya pada Salib Kristus. .......Salib menjadi alat Keselamatan bagi semua orang. Setiap kali sebelum kita melakukan semua kegiatan kita harus buat tanda salib. Sebelum berangkat ke kegiatan IYD, OMK harus mengadakan perarakan salib biar mereka selamat dalam perjalanan atau kegiatan  IYD akan berhasil dan lain-lain. Sekali  lagi Salib sebagai alat Keselamatan, lambang kemenangan orang Kristiani.

Persoalannya bahwa Ketika orang keseringan berbicara tentang salib, menggunakan asesoris salib, maka kekuatan salib Kristus akan dikosongkan dari dirinya dan kemudian diserahkan pada  kesombongan rohani. Perarakan Salib IYD bukan dijadikan sebuah ajang pertunjukan rohani, bukan sebuah ajang kunjung mengunjung orang Muda Katolik antar paroki. Bukan ajang rekreasi. Kita harus mendudukan kembali salib Kristus pada posisinya yakni  Salib identik dengan penderitaan. Kita sedang melakukan jalan Salib terpanjang di dekenat kita dengan 22 perhentian yakni 22 paroki sebagai tempat perhentian Salib IYD.  Hadirnya Salib di Paroki, kita jadikan  momentum untuk merenungkan kembali penderitaan Yesus di atas Kayu Salib. Kita berjalan bersama Yesus yang Menderita sebagaimana Bunda Maria yang ikut berduka bersama Yesus dalam renungan tujuh Duka Bunda Maria yang nantinya kita mengelilingi kampung ini. 

Kita orang Kotenwalang dan orang Lamaholot pada umumnya senantiasa hidup dalam prosesi penderitaan. Penderitaan selalu baru, sili berganti tanpa ada akhirnya. Kesetiaan kita untuk menerima  prosesi penderitaan  menjadikan kita bagian dari kemuridan Kristus. Orang Muda Katolik harus menyadari dan menerima semuanya ini. Jangan pernah mengingkari dan menutup prosesi penderitaan untuk masuk ke dalam prosesi kemuliaan yakni dengan  sikap hura-hura. Yang mulia dihasilkan dari sebuah perjuangan dan perjuangan itu berat karena melalui pederitaan yang hebat.

Jalan kita sudah diaspal  dengan mulus, listrik juga sudah terang tapi sebelumnya kita telah menikmati prosesi penderitaan yang panjang, tarik oto sepanjang jalan    pakai lampu pelita.

Jadi kita harus menderita untuk bangkit menuju Hidup baru dan itulah yang menjadi Kesaksian kita kepada dunia.  Amin...


Rabu, 24 Mei 2023

SANG GURU KEBENARAN ITU TELAH PERGI

 

MENGENANG SAHABATKU  RD. AGUSTINUS SISWANI  IRI

Oleh: RP. Patrisius Dua Witin, CP

 


“Belajar dari Sang Guru”
itulah motto imamat  RD. Agustinus Siswani Iri, sosok imam Keuskupan Larantuka yang belum lama meninggal dunia akibat sepeda motor yang dikendarainya menabrak trotoar dan diding pagar dekat Kodim,  Lokea, Kota Larantuka. Apa makna sesungguhnya di balik moto ini? Tentu saja Gusti Iri sapaan akrab di antara teman-teman  imam yang mengerti dan menghayatinya dengan jelas karena dialah sang pemilik motto ini.   Kebanyakan dari kita hanya sekedar menafsir yang belum tentu benar tentang isi dari motto ini setelah beliau tak ada lagi di depan mata kita.

 Saya mengenal Gusti iri ketika video penolakan tambang di Lembata viral di media sosial dan dalam video itu, beliau sedang berorasi di atas mobil terbuka.  Tahun 2015, saya berpindah  tugas dari Keuskupan Sanggau, Kalimantan Barat  ke Keuskupan Larantuka dan di sinilah saya bertemu dengan Gusti Iri pada momen pertama pertemuan Pepemdila di paroki Waiklibang.  Pada saat perjumpaan pertama dengan beliau,  saya langsung mengajukan  pertanyaan: bukanah teman ini yang berorasi  tentang penolakan tambang di Lewoleba?  Saya telah menonton videonya ketika masih bertugas di Kalimantan. Tanpa basa basi, beliau langsung menjelaskan tentang semua peristiwa yang terjadi pada saat itu. Sejak itu, hampir semua momen perjumpaan dengan beliau, kami selalu berdikusi tentang seluk beluk perjuangan untuk menyuarakan kebenaran di tengah ketidakadilan. Akhirnya, saya memahami bahwa sosok Gusti Iri tidak bisa terlepas dari panggilannya untuk memperjuangan kebenaran ketika kebenaran itu  digoreng-goreng dalam kwali yang mengatasnamakan dirinya demi Kebaikan  Bersama.

Apakah perjuangannya ini dilandasi oleh mottonya: Belajar dari Sang Guru?  Gusti Iri tentu belajar banyak dari Sang Guru Kebanaran yaitu “YESUS KRISTUS”.   Yesus, Sang Guru Kebenaran telah dihancurluluhkan sekecil-kecilnya untuk  dijadikan cermin kehidupan dan salah satu kepingannya adalah sosok Sang Guru Kebenaran yang dimanfaatkan oleh Gusti Iri untuk dijadikan  kompas hidupnya. Pesoalannya sekarang adalah ketika Sang Guru sedang diadili di depan Pilatus,  Dia masih mempertanyakan Apa itu Kebenaran? Pada hal Dialah  Sang Kebenaran itu. Pilatus tak mampu menjelaskan definisi kata “kebenaran” bahkan setiap orang memiliki definisi menurut ukuran kepalanya. Di tengah hiruk pikuk, gonjang ganjing ketidakpastian mengukur kebenaran, tampillah Gusti Iri, yang sudah lulus belajar dari Sang Guru Kebenaran untuk menjelaskan kepada publik tentang “kebenaran sejati”. Itulah sosok Gusti Iri yang didefinisikan sebagai pejuang kebenaran di panggung-panggung media bahkan turun ke jalan-jalan untuk menyuarakan kebenaran.

Sang Guru Kebenaran telah pergi (NAIK KE SURGA), tiga hari kemudian Guru Kebenaran, sahabatku Gusti Iri menyusul naik ke Surga. SELAMAT JALAN.  Sang Guru Kebenaran, jangan lupa Utuslah  Roh Kudus untuk kami, dan Guru Kebenaran, Gusti Iri doakanlah Kami.

Sabtu, 29 April 2023

NARASI BARU TENTANG BUMI KITA

(Goresan Mengisi Tahun Ekologi)

Oleh RP. Patrisius Dua Witin, CP

 

Sejak tahun 1978 Thomas Berry, seorang anggota Kongregasi Pasionis sangat gencar mengkampanyekan krisis ekologis terutama dampak-dampak kerusakan bumi akibat teknologi yang sangat berpengaruh pada kesehatan manusia. Ketika itu, kebanyakan orang tak pernah gubris dan peduli akan gagasan-gagasan brilian yang  ditawarkan oleh Thomas Berry. Beliau meramalkan bahwa abad 21,  manusia akan memasuki era ecozoikum yakni manusia mulai menyadari bahwa bumi adalah rumah kehidupan yang perlu dijaga dan dan dirawat. Kesadaran ini terlambat 40 an tahun setelah  sang geolog, Thomas Berry mempublikasikan gagasannya.  Gereja semesta mulai bangkit yang ditandai dengan munculnya ensiklik Laudato Si  dari Paus Fransiskus dan Gereja lokal Keuskupan Larantuka mulai menyadari betapa pentingnya merawat bumi sebagai ibu yang memberi kehidupan kepada manusia. Kesadaran ini dinyatakan dalam rancangan tahun program keuskupan pada  tahun 2017 dan kemudian diulangi lagi pada tahun 2023 dengan kegiatan-kegiatan yang hampir sama.

Sumbangsi kesadaran akan pentingnya marawat bumi masih berkisar pada tataran pola hidup sehat seperti menghindari penggunaan pupuk kimia, pestisida, pemilahan sampah, menanam pohon, dan lain-lain. Thomas Berry menawarkan pertama-tama adalah penyembuhan pada akarnya yaitu  Kisah baru (the new story) tentang pandangan kita terhadap bumi sebagai rumah kehidupan. Kisah-kisah lama tidak cukup untuk mengubah pandangan setiap orang untuk memahami diri sebagai salah satu spesies dari keseluruhan kehidupan di planet ini.  Beribu-ribu tahun, kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian telah memupuk dan membesarkan pandangan orang Kristiani yang lebih menekankan doktrin keselamatan  dan mengabaikan doktrin tentang penciptaan. Oleh karena itu, eksploitasi alam ciptaan Tuhan  oleh manusia yang menyadari dirinya  menjadi pusat segala-galanya (antroposentrisme) akhirnya menjadikan bumi sebagai sapi perah untuk melayani properti manusia. Meskipun sering digaungkan bahwa latar belakang kerusakan planet kita berasal dari pandangan antroposentrisme tetapi hal mendasar ini tidak mudah untuk dilepaskan dari pribadi setiap orang. Perlu digaungkan lebih kuat tentang  kesadaran akan diri kita sendiri bahwa kita adalah bagian kecil dari keseluruhan spesies  yang ada di bumi ini. Semuanya memiliki hak sama untuk melangsung kosmogenesis dan saling menguntungkan. Serangga punya hak untuk hidup dan bermanfaat untuk proses penyerbukan pada jenis tanaman tertentu. Karena itu manusia tak berlaku semena-mena terhadap serangga. Pohon mempunyai hak untuk hidup karena jenis pohon tertentu adalah obat-obatan untuk kambing. Masing-masing spesies punya hak untuk hidup dan melakukan proses kosmogenesis yang saling menguntungkan. Manusia bukan penguasa atas semua spesies dan menjadi predator dalam semua kehidupan. Thomas Berry mengatakan bahwa manusia adalah salah bagian dari spesies untuk merayakan perayaan  indah di alam ini.

Kisah baru (the new story) juga harus diceritakan kepada anak-anak sebagai generasi baru untuk mengagungkan alam ciptaan sebagai wahyu utama bukan berarti mengesampingkan Wahyu Verbal yang diagungkan selama ini. Unsur-unsur numinous alam semesta harus  menjadi bagian dari setiap generasi yang akan menjadi obat untuk menjaga, memelihara melestarikan alam ciptaan di bumi ini. Dengan demikian maka orang yang melakukan segala bentuk  kegiatan  untuk mengembalikan krisis ekologis  sungguh sungguh datang dari spiritualitas ekologis yang mendalam bukan karena  perintah untuk melaksanakan program-program ekologis.

Semoga...............................