Rabu, 12 Februari 2020

GETTING THE POOR DOWN FROM THE CROSS

Oleh Patrisius Dua Witin, CP
(Tulisan ini adalah Salah satu bagian kecil dari buku Buku Kenangan Paroki Kotenwalang yang akan dicetak)

Judul ini, terinspirasi dari refleksi teologis beberapa teolog dunia ketiga yang tergabung dalam EATWOT yang memunculkan perjuangan mereka (pemikiran teologis) untuk menurunkan kaum miskin dari Salib (Getting the Poor Down from the Cross).  Para uskup Amerika Latin dalam konfrensi (CELAM) di Medelin 1968 juga menekankan kata-kata kunci dalam perutusan gereja adalah: preferensial option for the poor), pilihan mendahulukan kaum miskin.[1] Gustavo Gutierrez,  salah seorang peserta konferensi pada waktu itu menjelaskannya dengan baik bahwa option adalah putusan bebas tidak hanya dari pihak luar melainkan juga option dari kaum miskin sendiri untuk solider dengan sesamanya yang miskin. Dan preferensial menunjuk siapa yang seharusnya menjadi yang pertama dengan tidak menyingkirkan orang atau kelompok lain melainkan semua diundang untuk terlibat dalam gerakan bersama kaum miskin  untuk membangun masyarakat yang adil dan bersaudara.[2]  Gutierez membuat pendasaran biblis bahwa Preferensial Option For The Poor tidak hanya pilihan gereja Amerika Latin tetapi pilihan gereja universal yang terpusat pada pilihan Allah, (Option Teosentris) seperti peristiwa Kain dan Habel (Kej 4:1-16), seperti juga pilihan pada Ishak dan bukan Ismail, pada Yakub dan bukan Esau dan pada Yusuf dan bukan Ruben. Oleh karena itu, bagi Tuhan, “yang terakhir menjadi yang pertama dan yang pertama akan menjadi yang terakhir” (Mat 20:16; 19:30 Mrk 10:31; Luk 13:30).[3]
Refleksi atas sejarah berdirinya Paroki St. Paulus dari Salib Kotenwalang adalah option Allah untuk mendahulukan kaum miskin dan yang terlupakan di Kotenwalang. Hal ini tersirat dalam kata sambutan yang Mulia Bapak Uskup Larantuka bahwa Kotenwalang berdiri bukan karena percakapan-percakapan di antara para imam, bukan pula karena omong-omong dengan imam-imam Pasionis melainkan option dari Allah sendiri. Bagi saya, ini merupakan option sebagai jawaban atas misi Allah dan misi Gereja Lokal untuk menurunkan kaum miskin dari Salib (Getting the Poor Down from the Cross).  


[1] Menurut  A. Pieris “kemiskinan  bukan versus kekayaan melainkan kemiskinan versus ketamakan dan kekikiran”. Oleh karena itu, perhatian utama bukanlah penghapusan kemiskinan tetapi pergulatan melawan mamon. A. Pieris, Op.cit.hal. 125.  Saya kira buku  “Lembata Negeri Kecil Salah Urus” Nusa Indah, Juni 2016 yang ditulis oleh Steph Tupeng Witin sesungguhnya mau mengatakan bahwa kemiskinan dan ketidakadilan yang terjadi di Lembata karena ulah ketamakan dan kekikiran.
[2] Gustavo Gutierrez, Op.cit hal. 116-118 bdk. Martin Chen, Op.cit. hal. 120-121.
[3] Bdk. Martin Chen, Ibid, hal 122-123.

Senin, 10 Februari 2020

LEMBAH DULI, LUMBUNG PADI ORANG KOTEN

Tiga sampai empat  tahun yang lalu, Lembah Duli masih di pandang sebelah mata oleh para petani Koten. Lahan Sawah tada hujan hanya dikerjakan beberapa orang secara manual. Mereka harus bergulat dengan dengan lalang, cangkul,  lumpur,dan  babi hutan ditambah lagi dengan bejalan kaki dari Koten berjam-jam baru tibadi Lembah Duli.  Hasilnya tidak memuaskan. Sekarang, transportasi jalan darat  sedikit  lebih mudah dan pengerjaan lahan sawah menggunakan mesin maka,  para petani mulai beralih dari pertanian tradisional menuju pertanian modern. Hampir setiap hari masyarakat Koten dan Aran Sina berlombah-lombah menuju Duli untuk mengerjakan sawah tada hujan. Tahun ini, geliat para petani menuju Lembah Duli sangat luar biasa sampai lahan lembah Duli tak ada lagi tertidur pulas. Akes Jalan sesungguhnya mempermudah banyak hal dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, Jika pihak Pemerintah membuka akes jalan yang baik untuk masyarakat akan membuka banyak peluang usaha bagi Masyarakat. Masyarakat Kotenwalang masih mengimpian kelanjutan pembangunan jalan menuju Basira karena sampai hari ini pembangunan jalan menuju kotenwalang berhenti di tengah jalan sebelum sampai ke Kotenwalang.