Rabu, 16 Mei 2018

KOTENWALANG PAROKI TERBARU DI KEUSKUPAN LARANTUKA



Keuskupan Larantuka yang sedang digembalakan oleh sang gembala Agung Mgr. Fransiskus Kopong Kung Pr membuka sebuah paroki baru di Ujung Timur pulau Flores. Kotenwalang begitulah nama paroki baru yang merupakan paroki terjauh yang memang sulit dijangkau dengan kendaran laut maupun darat.  Nama Kotenwalang adalan gabungan dari dua nama tempat yaitu KOTEN DAN WALANG. Koten yang sekarang menjadi pusat paroki dan Walang yang sekarang menjadi Basira, desa Patisirawalang. Jadi Kotenwalang memiliki sebuah arti baru dalam terjemahan lurus bahasa Lamaholot “kepala yang berlumpur”. Bayangkan saja seorang manusia yang berkepala lumpur tentu tidak menarik perhatian banyak orang. Dan memang begitulah situasi dan keadaan di Kotenwalang. Jika anda mau ke Kotenwalang pada musim hujan anda bersiap-siap akan terjun dalam lumpur dan risikonya adalah “KEPALAMU BERLUMPUR”(kotenwalang).Rupa Kotenwalang seperti itulah yang tidak menarik perhatian banyak orang. Kotenwalang termasuk dalam wilayah pinggiran, terisolir bahkan hampir tidak termasuk dalam hitungan bidikan pemerintah daerah. Orang Nagi, Larantuka kota menjuluki orang Kotenwalang “orang luar tanjo”.

Meskipun demikian nama Kotenwalang menjadi  indah dan manarik dalam sejarah sebuah paroki yang baru.Paroki Kontenwalang menempati urutan ke 49 dalam Keuskupan Larantuka dengan nama pelindung parokinya: SANTU PAULUS DARI SALIB.  Santu Paulus Dari Salib adalah pendiri Kongregasi Pasionis yang sekarang paroki baru tersebut di percayakan Mgr. Fransiskus Kopong Kung Pr kepada Kongregasi Pasionis. Orang Kotenwalang  sebelumnya menginduk pada Paroki Riangkemie selama 25 Tahun dan kemudian menginduk pada paroki Waiklibang selama 51 Tahun. Jadi mereka harus menanti selama 76 tahun untuk menjadi sebuah paroki yang baru. Tanggal 05 September 2015 RP. Patrisius Dua Witin, CP datang ke Waiklibang untuk bekerja bersama dengan team pastor paroki Waiklibang yaitu RD. Gabriel Tobi Wolor dan RD. David Doni mempersiapkan berdirinya paroki Kotenwalang. Tanggal 20 Oktober 2016 bapak Uskup Larantuka datang untuk meresmikan berdirinya Paroki Kotenwalang sekaligus melantik pastor paroki perdana RP. Patrisius Dua Witin, CP. Luapan kegembiaraan dan rasa haru menyelimuti umat Paroki baru karena pelayanan gereja semakin dekat ketimbang paroki lama yang harus melewati jalan yang paling sulit di wilayah ini. “GEREJA SUDAH MULAI, KAPAN PEMERINTAH?


PEMBANGUNAN JALAN MENUJU KOTENWALANG SEBUAH LITANI JANJI YANG BELUM FINAL



Janji untuk membangun jalan menuju Kotenwalang, sebuah tempat yang letaknya di ujung Timur Pulau Flores seringkali dimanfaatkan oleh para kandidat calon legislatif maupun calon eksekutif menjelang pemilu.Koar-koar tentang pembangunan Jalan menuju Kotenwalang yang keluar dari mulut para kandidat dianggap sebagai iklan yang paling sakti untuk meraup suara. Anggapan tentang keluguan, kebodohan dan keterbelakangan dilabelkan kepada masyarakat Kotenwalang dengan julukan “Belakang gunung, Luar Tanjung” dijadikan lahan empuk bagi para kandidat untuk mengiklankan diri sebagai pahlawan atas mereka. Hal ini terbukti dengan para pahlawan yang telah dan sedang berdiri  tanpa memiliki jasa apapun terhadap wilayah Kotenwalang. Pada akhirnya janji tentang pembangunan Jalan menuju Kontenwalang tetap menjadi sebuah litani janji  yang tak berujung.
Bapak Herman Kara, pjs Bupati Kabupaten Flores Timur menebarkan berita kepada masyarakat Kotenwalang dalam kunjungan perdananya di Waiklibang bahwa ada sekitar 35 Milyard disedikan untuk  pembangunan jalan menuju Tone, wilayah Kotenwalang. Janji itu kemudian diperkuat lagi oleh bapak Melchias Mekeng anggota DPR RI. Janji pembangunan jalan menuju Tonedibenamkan karena anggaran sebesar itu dibagi-bagi sehingga hanya terealisasi sampai Biara Trapisst Lamanabi. Sementara itu kondisi jalan menuju Kotenwalang semakin parah. Tak lama kemudian datanglah bapak Melchias Mekeng ke Koten untuk menjawabi janji kepada masyarakat untuk mengunjungi masyarakat di sana. Dalam kunjungannya ke Kotenwalang, berjanjilah beliau kepada masyarakat untuk dana pembangunan jalan menuju Kotenwalang. Janji itu kemudian hendak direalisasikan 7 Km. Pengukuran 7 Km dari titik nol simpang Lamanabi  belum sampai juga ke Kotenwalang. Ruas jalanan yang paling parah pun belum terlewati artinya pembangunan jalan sepanjang 7 Km belum menjawabi persoalan yang ada di Kotenwalang.

Datanglah janji terkini yang keluar dari mulut Bapak Wakil  Bupati Larantuka, kepada bapak kepala desa Latonliwo dan Pastor Paroki Kotenwalang, RP. Patrisius Dua Witin, CPdi ruang kerjanya bahwa  pengerjaan jalan menuju Kotenwalang tidak hanya 7 Km melainkan dikerjakan sampai desa Latonliwo. Alasannya bisa dipahami karena alokasi dana sebesar 17 milyard  sementara anggaran per km, 1,2 Milyard, ungkap bapak dari Binamarga.Janji ini dianggap final dari segala janji karena dikatakan di hadapan kami dan kepala Binamarga kabupaten Flores Timur. Jika janji ini terwujud maka Bapak Wakil Bupati Flores Timur akan menjadi pahlawan atas  janji-janji itu. Jika tidak maka, PEMBANGUNAN JALAN MENUJU KOTENWALANG HANYA SEBUAH LITANI JANJI YANG TAK AKAN FINAL.

PEBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN MENUJU KOTENWALANG SEBUAH KEBUTUHAN VITAL



Transportasi jalan darat  adalah pilihan dasar untuk mengembangkan potensi-potensi SDM DAN SDAbahkan sebagai kebutuhaan vital masyarakat. Sayang bahwa kondisi infrastruktur jalan darat menuju Kotenwalang kurang diperhatikan oleh para penguasa lokal maupun pusat. Gelora suara-suara sumbang yang semakin serak dikumandangkan dari wilayah Kotenwalang  hampir tak mempan lagi. Apakah kita harus diam atau memang harus diteriakan terus-menerus sampai orang bertelinga tak mampu mendengar lagi?
Teriakan dan jeritan masyarakat Kotenwalang untuk menuntut pembangunan infrastrukur jalan bukan hanya karena kendaraan dapat melaju dengan enak di jalan beraspal melainkan ada kebutuhan yang paling  penting dari itu adalah:
1.      Mendrongkrak lajunya pertumbuhan ekonomi masyarakat. Kondisi jalan buruk akan terus memiskinkan masyarakat karena harga barang akan melambung tinggi dan daya beli masyarakat akan semakin melemah.
2.      Gerakan untuk membangun desa oleh bapak Presiden Jokowi dengan dana desa milyaran rupiah dan realisasi program Bupati Larantuka “Desa membangun kota menata” hanya sebuahimpian yang  terkatung-katung karena biaya transportasi melambung tinggi.
3.      Aspek pembangunan di bidang lainnya seperti Listrik yang disebut dengan program unggulan Indonesia Terang, sarana kesehatan (Indonesia sehat) telekomunikasi (Indonesia dering)dan lain-lainpun akan menjadi mandek hanya karena transportasi jalan darat sangat parah.
Oleh karena itu, masyarakat Kotenwalang pengimpikan ruas jalanan dari Simpang Lamanabi ke Tone, wilayah Kotenwalang segera dibangun dalam waktu dekat. Ini merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat Kotenwalang yang meliputi  4 desa di sana.

GELORA SUARA DARI KOPONG DEI



Kopong Dei  adalah nama sebuah tanjung kecil yang letaknya paling ujung Timur pulau Flores. Kopong Dei merupakan sebuah situs pariwisata budaya yang turut menghiasi keindahan alam di wilayah Tanjung Bunga yang letaknya di Ujung timur Pulau Flores. Nama besar Kopong Dei muncul karena pada bagian tanjung tersebut terdapat sebuah batu yang kelihatan dari jauh seperti seorang manusia raksasa yang sedang berdiri. Patung manusia alami itu kemudian diberi nama Kopong Dei artinya “Koponyang sedang berdiri”. Kecintaan masyarakat sekitarnya yaitu Masyarakat Tone dan Basira mengagungkan Kopong Dei sebagai salah seorang nenek moyang mereka yang berubah bentuk menjadi batu. Nama besar Kopong Dei ini kemudian terbentuklah sebuah group Band asal Basira dan Tone dengan nama “GELORA KOPONG DEI”.
Jika anda melewati Tanjung Kopong Dei dengan kapal motor laut maka anda akan mengalami betapa dahsyatnya gelora gelombang dan amukan air laut yang seakan-akan menelan habis motor laut. Meskipun amukan gelombang besar sebegitu dahsyat tetapi belum pernah ada kapal motor laut orang Basira dan Tone tenggelam di situ. Mereka yakin bahwa sang Kopong Dei akan senantiasa menolong mereka.
Alangkah baiknya Nama “Gelora Suara Kopong Dei” dimunculkan kembali dalam situs ini dengan maksud untuk menyuarakan orang-orang yang tak bersuara dari ujung Timur Pulau Flores. Suara-suara mereka diibaratkan sama dengan suara gelora amukan gelombang laut Kopong Dei untuk menanti jawaban keadilan pemerataan pembangunan. Wilayah Kopong Dei meliputi empat Desa di kepala pulau Flores bagian Timur yaitu Desa Patisira Walang, Desa Laton Liwo satu dan dua serta Desa Aran Sina merupakan bagian wilayah yang mengalami ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan.