Catatan Perjalanan
Patrisius Dua Witin, CP
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi singkat setelah sebulan menjelajahi tanah Keerom, Jayapura, Abepura, Sentani, Kota Raja, Mahadi, Entrop, Tanah Hitam, Holandia, Koya, Skow dan sekitarnya sekaligus melintasi Jembatan Merah, Danau Sentani dan Gor Lukas Enembe yang menjadi ikon kebanggaan orang Papua.
Siapapun dan orang manapun yang telah menginjakkan kakinya di
tanah ini, mereka akan bangga dan
menyatakan dirinya “AKU PAPUA”. Kebangggaan ini sebagai ungkapan terdalam
ketika orang telah menyatu dengan alam, menghirup kesegaran udara kota dan
desa, menyatu dengan budayanya, menyatu dengan makanan khasnya “Papeda dan kua
ikan segar, petatas, keladi, bete, dan lain-lain”. Di tanah ini, kita akan menikmati ikan Mujair
terbesar dari danau Sentani, tikus tanah, kanguru, dan lain-lain. Kisah kisah
ini hanya berkisar di lingkaran kota. Ketika anda bergerak sedikit ke dalam
seperti Wamena, Timika, Merauke, Yawaruf, Intan Jaya, Biak, Sorong, Nabire,
Bovendigul, Asmat, dan lain-lain, anda akan dengan sendirinya menyatakan bahwa “TANAH
PAPUA, TANAH BELIMPAHKAN SUSU DAN MADU”.
Oleh karena itu, kebanyakan orang, khususnya
para pemilik modal dalam negeri dan terutama pemilik modal asing, para pejabat negara sampai pada para kuliner bekerja
keras menanamkan jasa-jasanya di tanah ini untuk memanen dan menikmati susu dan
madu. Sulit untuk merekapitulasi barang-barang tambang terutama emas yang
terpendam dalam tanah yang sampai hari menjadi gonjang ganjing perbincangan di
kalangan elit dalam dan luar negeri bahwa siapa sesungguhnya sang pemilik
kekayaan ini. Peristiwa perang, pembunuhan, pemberontakan KKB dan lain-lain
mungkin saja merupakan rentetan dari
ketidakadilan akan penguasaan tanah yang berlimpahkan susu dan madu.
Barangkali kita kembali pada akar dari
semua perintiwa ini bahwa satu-satunya sang
pemilik tanah ini adalah “TUHAN” sebagai sang pencipta. Dan yang kedua adalah “Orang
Papua” yang telah lahir, tumbuh dan berkembang di tanah ini. Mereka adalah sang
pemilik warisan alam, budaya, adat istiadat, dan biarkanlah mereka menjadi
dirinya sendiri seperti semulah yang
dikehendaki oleh Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar