Iklan

Selasa, 29 September 2015

Senin, 28 September 2015

KOTEN WULUMATAN BALONI BALASINA

KAMPUNG KOTEN

Kampung Koten Walang dalam syair koda knalan dijuliki “Koten Wulumatan Baloni Balasina”. “Koten Wulumatan Baloni Balasina” meliputi beberapa kampong yaitu: Koten, Kolotobo, Lewokoli, Basira dan Tone. Daerah ini, letaknya paling ujung timur Pulau Flores, yang biasa disebut wilayah kepala burung.  Daerah ini memiliki panorama alam yang sangat indahs sehingga dapat manarik perhatian banyak orang.
Lewotana Koten Walang  awalnya didiami oleh PATISIRA TUAN GRODA WURING.  Dalam koda knalan, mereka berasal dari Krokopuken  karena “belebo-lebo” (air laut masuk menenggelamkan pulau mereka). Menurut tetaua di Lembata Krokopuken sama dengan “Lepan Batan”.  Patisira Tuan Groda Wuring berlayar dan tiba di Wuring Adonara dan kemudian terus berlayar dan menetap di sebuah teluk kecil namanya Koten. Mereka memberi nama koten sesuai denga suku mereka namanya “Koten”. Dia memiliki  2 orang anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak pertama namanya Daun Bliti yang akan menempati wilayah Basiran dan Tone dengan Ratu Raja menempati wilaya Koten, Kolotobo dan Lewokoli. Putri pertama namanya Ema Hingi Huhopukan Lamulolon berkorban menikah dengan penguasa laut namanya Ja Adu Sagi Tuan Puro Dulu. Karena Urit alat untuk menenun jatuh ke laut dan dikembalikan oleh penguasa laut. Sebagai gantinya Ema Hingi Uhopuken Lamulolon menikah dengan penguasa laut. Putri kedua namanya Nogo Haru menikah dengan Pasebere Lio Taji dari suku Blaja.
Menurut para tetua, ketika Patisira Tuan Groda Wuring tiba di Daerah itu, sudah ada penghuni yaitu Pasebere yang datang dari Lio. Penikahan politik terjadi yakni Nogo Haru menikah dengan Pasebere maka dengan demikian mereka dpat hidup bersama-sama dalam satu kampong dengan catatan Pasebere tunduk  pada Patisira tuan Groda Wuring dengan status sebagai Blake. Sampai hari ini mereka masih memiliki “Nubanara” di Kolotobo dan Kokhe Bale di Basira.

Jumat, 25 September 2015

DEMAM PESTA SAMBUT BARU

Oleh: Patrisius Dua Witin, CP


Sambut Baru adalah pesta iman. Tuhan sebagai penyelenggara  pesta sekaligus menjadi korban dalam pesta. “INILAH TUBUHKU YANG DISERAHKAN BAGIMU. INILAH DARAHKU YANG DITUMPAHKAN BAGIMU. Totalitas pengorbanan dalam pesta Tuhan ditujukan bagi semua orang terutama kepada anak-anak yang akan menerima Komuni Pertama (Sambut Baru). Pengorbanan ini semata-mata hanya karena belaskasih Allah kepada kita, manusia yang lemah dan rapuh ini. Tuhan menyelenggarakan pesta perjamuan  makan dan minum untuk hidup yang kekal. Imam sebagai "Altar Kristus" membuat acara ritual pesta ini. Semua orang diundang kepada  perjamuan Tuhan.
Pesta yang sesungguhnya adalah pesta iman kemudian dibelokan pada pesta Jasmani lebih daripada pesta iman. Akhirnya muncul demam pesta sambut Baru jasmani dengan mengeluarkan biaya yang sangat mahal. Deman pesta sambut baru terutama terjadi di daratan pulau Flores, Solor, Adonara dan Lembata. Para pastor dengan berbagai cara untuk menghindari bahkan meringankan biaya pesta Sambut baru belum terjawab. Masyarakat sudah terbiasa dengan deman pesta Sambut Baru.
Mengandaikan satu paroki ada 600 anak menerima Komuni Pertama, maka pesta jasmani Sambut Baru itu diperkirakan biaya pengeluaran setiap anak paling rendah Rp. 5.000.000,- tentu total keseluruhan biaya sekitar tiga milyard dihabiskan hanya untuk pesta pora dan mabuk-mabukan. Sungguh suatu pemborosan. Perhitungan di atas baru terjadi pada dua dua paroki belum terjadi di paroki-paroki lain.
Masyarakat Flores, Adonara, Solor dan Lembata tergolong masyarakat rata-rata di bawah standar pendapatan perkapita tapi jika pesta Sambut Baru tiba, semuanya menjadi kaya raya. Anak-anak  sesungguhnya sangat polos dan mereka tak punya pikiran tentang besarnya babi yang akan dipotong kemudian  dinodahi dengan sikap gensi orang tua sebagai penyelenggara pesta jasmani Sambut Baru. Persoalannya: Kapankah sikap gensi sebagai penyelenggara Pesta akan lenyap di tanah Flores, Solor, Adonara dan Lembata? Pesta Iman janganlah dilecehkan dengan pesta Jasmani yang penuh dengan pesta pora dan kemabukan.


MISTERI BUDAYA KAMPUNG LAMA EPUTOBI


Eputobi, salah satu kampong di Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur. Menurut sejarah, awalnya kampong Eputobi terbentuk dari kumpulan beberapa kampong yaitu, Lewohala, Sarabiti, Waihali. Atas prakarsa panglima perang yang tak terkalahkan, almahrum Boli Wawe Mea, semua kampong tersebut dilebur menjadi satu dengan nama Lewoingu yang kemudian menjadi Eputobi. Sampai hari ini, kubur sang panglima perang Boli Wawe Mea masih ada di kampong lama Eputobi.[1] Siapakah yang sesungguhnya panglima itu? Dan bagaimana asal usulnya,  hanya tetua adat di Desa Lewoingu, Eputobi yang dapat menuturkannya. Kekuatan para panglima perang dari Lewoingu tak dapat diragukan maka raja Larantuka mempercayakan Kakang Lewoingu sebagai tangan kanan dalam hal perang dibandingkan 9 kakang yang lainnya.
Ketika anda memasuki desa Eputobi di sana anda akan menemukan tugu dengan patung anjing dan ayam. Menurut mereka, anjing dan anjing sangat membantu mereka pada suasana perang. Ketika musuh datang pada malam hari, anjing dan ayam memberi tanda bahwa musuh sedang mengintai mereka. Karena itu, para panglima perang bersiap-siap untuk bergerak melawan para musuh. Di Kampung lama Eputobi masih ada batu yang berbentuk ayam dan justru itulah menurut kepercayaan mereka, ayam sebagai symbol pembantu dalam hal berperang terus dilanggengkan sampai hari ini.[2] Juga terdapat sebuah batu tinggi tempat untuk orang memberi pengumuman. Suku Soge Making dipercayakan untuk memberi pengumuman dari para kebelen suku Kelen. Di Kampung lama masih ada rumah adat orang Eputobi yang dijaga oleh suku kelen. Sekarang tidak terpelihara dengan baik bahkan sudah rusak total.  Tiga batang gading besar dibiarkan di luar yang hanya ditutup dengan sebuah terpal. Juga ada rumah adat milik orang Leworok yang barusan direhab.  Hal ini patut disayangkan karena tidak dirawat dengan baik.
 









[1] Gambar kubur panglima Boli Wawe Mea dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
[2] Gambar batu ayam dapat dilihat di bawah ini.

Rabu, 23 September 2015

BELAKANG GUNUNG


 
ILE MANDIRI, LARANTUKA
“Belakang Gunung”  adalah frasa yang memiliki konotasi terbelakang yang kenakan oleh  orang depan gunung kepada masyarakat di sekitar kepala burung pulau Flores. Ile Mandiri dengan kokoh berdiri di belakangan kota Reinha, Larantuka dijadikan patokan untuk mengukur kadar kemajuan orang-orang “belakang gunung” dan “depan gunung”.
Kadar keterbelakangan orang “belakang gunung” dapat dipertangungjawabkan dengan keadaan infrastruktur khususnya tranportasi darat yang tidak memadai di sekitar kepala  burung pulau Flores. Misalnya wilayah Koten Walang dan sekitarnya  masih memilih alternative transportasi laut yang memakan waktu 4-5 jam untuk mencapai kota Reinha, Larantuka.  Persoalannya: Apa yang baik datang dari Belakang Gunung?
Menurut seorang tetua di Lewerang, Larantuka (orang depan gunung) bahwa pada zaman dahulu orang Tanjung Bunga yang nota bene orang Belakang gunung memberi makan kepada orang Kampung Lewerang dengan beras. Hal ini mau menunjukkan bahwa pada periode tertentu pada zaman dahulu  sudah ada kemajuan  di wilayah kepala burung pulau Flores. Sayang bahwa kemajuan ini kemudian sangat lambat dilirik oleh pemerintah sebagai sumber pendapatan.
Anggapan belakang gunung tetap menjadi belakang sampai saat ini. Akankah ada perubahan di wilayah belakang gunung? Masih dalam sebuah proses panjang.