Iklan

Selasa, 31 Desember 2024

TAHUN BARU, ALAT UNTUK MENGUKUR KWALITAS HIDUP

                                       Patrisius Dua Witin, CP



Euforia perayaan Tahun Baru menembus kalangan kelas bawah artinya perayaan ini paling ditungguh semua orang. Masing-masing orang mengemas perayaan dengan seleranya yang akan diluapkan pada titik 00.00 pergantian tahun. Tidak sedikit anggaran yang dikeluarkan untuk menyambut perayaan Tahun Baru. Biaya kembang api saja mungkin membutuhkan biaya yang sangat mahal, belum lagi anggaran yang lainnya. Tak ada keraguan untuk mengeluarkan biaya semacam itu karena dianggap setahun sekali untuk mengisi kegembiran dalam menyambut tahun yang baru.

Bagi kalangan orang bijak sebenarnya Tahun Baru menjadi sebuah alat atau media untuk menghitung saldo atau defisit keseluruhan hidup anda selama tahun sebelumnya. Bagi kita merupakan sebuah renungan panjang tentang prilaku hidup kita baik dari segi ekonomi, religiositas, budaya, politik dan lain-lain. Katakan saja dari sudut pandang politik, mungkin saja ada yang menang politik dan mereka akan menuai saldo besar sementara mereka yang kalah politik akan menuai defisit politik. Dari segi prilaku hidup keagamaan (RELIGIOSITAS) tentu kita mengalamai defisit iman atau bisa saja mengalami saldo iman pada tahun sebelumnya.

Seluruh prilaku hidup kita selama setahun diukur pada momen ini agar kita menjadi bijak untuk mengambil langkah positip pada tahun yang akan datang. Bisa jadi bahawa pada akhir tahun ini secara ekonomi, kita mengalami surplus tetapi dari segi religiositas, kita mengalami defisit iman. Oleh karena itu Tahun Baru tidak semata-mata menjadi ajang pesta pora melainkan menjadi ajang untuk mengukur kwalitas hidup kita.


Sabtu, 14 Desember 2024

APA YANG HARUS KAMI PERBUAT

 

REFLEKSI

MINGGU ADVENT III

TAHUN C

Injil Lukas, 3:10-18 

 RP. Patrisius Dua Witin, CP

 

Hampir semua komentator sepakat bahwa bacaan Injil hari ini mengindikasikan bahwa “Yohanes Pembaptis berhasil melaksanakan tugasnya sebagai perintis persiapan kedatangan Tuhan. Banyak orang terpesona dengan ajarannya dan ingin mengubah masa lalunya dengan mengatakan kalau begitu “apa yang harus kami perbuat?”  Paralel dengan teks ini dapat dilihat dalam Kisah Para rasul di mana pertanyaaan yang sama dilontarkan juga ketika Petrus berkhotbah di depan banyak orang dan pada saat  yang sama  semua mengatakan “Jadi apa yang harus kami perbuat?  Kisah Para Rasul 2:37

Inisiatif datang dari para pendengar dengan mengajukan pertanyaan kepada Yohanes Pembaptis tentang apa yang harus kami perbuat merupakan jalan pertobatan yang semakin terbuka lebar. Pertanyaan tentang Apa yang yang harus kami perbuat adalah pertanyaan yang  datang dari orang-orang sederhana yang  telah membuka pintu hatinya untuk keselamatan. Pintu pertobatan ini hanya bisa terbuka ketika orang dengan rendah hati menerima pengajaran dan nasihat dari orang yang tidak diketahui latar belakang pendidikannya. Oleh karena itu, jelaslah bahwa orang-orang cerdik pandai dan mereka yang membanggakan pengetahuan mereka lebih sulit dikoreksi daripada orang-orang sederhana dan tidak terpelajar. Bahkan, mereka yang menganggap diri mereka bijak sering mengejek orang-orang sederhana  yang ingin bertobat.

Menurut Origenes ada tiga kelompok  yang bertanya dan Yohanes Pembaptis memberikan tiga jawaban sesuai dengan masing-masing audiens.

1.       Pertama, kepada semua orang:  barang siapa mempunyai dua helai baju hendaklah ia memberikan  kepada orang yang tidak mempunyainya. Dua helai baju (ὁ ἔχων δύο χιτῶνας), diterjemahkan  memiliki kelebihan pakaian”. Dan barang siapa mempunyai kelebihan makanan (beras, ubi, pisang, jagung, dan lain-lain) hendaklah ia berbuat demikian. Pertama-tama setiap orang harus memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu, setelah itu, kelebihannya dibagikan kepada orang miskin. Siapapun yang menumpuk kekayaan sesungguhnya tidak pantas dan layak di hadapan Tuhan karena ia telah merampas hak orang-orang miskin. St. Bernardus dan Jerome menegaskan bahwa penumpukan kekayaan merupakan pencurian, penistaan, dan penjarahan yang seharusnya diberikan kepada orang miskin. Bencana letusan gunung Lewotobi laki-laki di Flores Timur mengakibatan belasan ribu pengungsi di tenda-tenda darurat sungguhnya mengubah pola perbuatan kita untuk untuk berbuat demikian. Barang siapa mempunyai kelebihan pakaian maupun makanan hendaklah berbagi kepada yang tidak mempunyainya. Tentu saja bantuan mengalir dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Umat membantu umat melalui banyak pihak untuk menyalurkan bantuan.  Negara akhirnya mengumumkan peristiwa ini sebagai bencana nasional. Tragedi bencana alam atau apapun penderitaan kemanusiaan sesungguhnya memacuh andrenalin cinta kasih untuk berbagi dari kelebihan maupun kekurangan yang ada pada kita baik material maupun tenaga dan pikiran.  Jadi, Tobias berkata, 'Sesuai dengan kemampuanmu, berbelas kasihlah. Jika kamu memiliki banyak, berikanlah dengan berlimpah; jika kamu mempunyai sedikit, berikanlah dengan sukarela sekalipun sedikit itu'Tobit 4:80)

 

2.       Kedua, jawaban kepada para pemungut cukai. "Jangan menuntut lebih dari apa yang ditetapkan “ artinya jangan menuntut lebih dari apa yang ditetapkan bagimu oleh hukum atau oleh tuan-tuan yang barang-barangnya kamu pungut. Pemungut cukai merujuk pada pemungut pajak publik dan mereka yang menjalankan bisnis untuk meraup keuntungan besar besaran di dunia ini. Ada istilah dalam kalangan orang Indonesia yang disebut dengan pihak ketiga atau apa yang disebut tangan kedua dan tangan ketiga. Keluhan masyarakat tentang harga bahan pokok melambung tinggi dan harga komoditi jauh di bahwa standar sesungguhnya adalah permainan-permainan tangan tangan kelas atas untuk memeras yang mengakibatkan jurang antara yang kaya dan miskin semakin melebar. Oleh karena itu, jika anda ingin menjadi kaya hendaklah engkau merebut kursi pemimpin. Trend menjadi pemimpin akhirnya menjadi primadona di masa-masa kampanye pergantian para pejabat negara. Tak heran jika mereka yang masih dibawah standard dipaksakan untuk menjadi pemimpin dengan mengubah undang-undang adalah bagian strategi perampokan kekayaan yang sesungguhnya adalah hak orang-orang miskin.

 

3.       Ketiga, kepada  Prajurit-prajurit, Yohanes Pembaptis berkata, “jangan merampas, jangan memeras, cukupkanlah dirimu dengan gajimu”. Prajurit pada saat itu melayani di bawah kekuasaan orang Romawi. Terkadang mereka menindas secara fisik, melakukan tipu daya, menyeret orang yang tidak bersalah ke dalam tuntutan hukum, menuduh siapapun secara salah (salah tangkap) dengan menuntut bayaran yang mahal. Cara-cara brutal yang dilakukan ini kemudian hari dialami oleh Yesus sendiri yakni Dia yang tak bersalah diseret ke pengadilan. Hebatnya bahwa para prajurit menyadari kesalahannya dan meminta pertobatan dengan mengubah pola perbuatan seperti yang dimaksudakan oleh Yohanes Pembaptis.

 

Tiga jawaban atas pertanyaan “apa yang harus kami perbuat di atas sesungguhnya sangat realistis untuk semua audiens pada masa ini. Kunci pertobatan bukan hanya sekedar mengajukan pertanyaan tetapi sesungguhnya mewujudkan jawaban Yohanes pembaptis yang sangat sederhana untuk lakukan. Jika engkau mempunyai kelebihan pakaian dan makanan berbagilah dengan sesama yang tidak mempuanyainya. Jangan memungut lebih dari apa yang ditetapkan hukum dan jangan memeras, cukupkanlah dengan gajimu.

Salam Advent III


Sabtu, 07 Desember 2024

JANJI MENANTIMU DI PERSIMPANGAN JALAN (adventus)

 





Oleh

Patrisius Dua Witin, CP


Waktu terus berputar tanpa kompromi

Tak ada tanda tanda sayup di kejauhan

Harap cemas menanti,

menanti  janji kedatanganmu

 

Apakah engkau datang dari arah Timur

Ataukah dari arah Barat

Sulit memutuskan, karena aku berada

Di persimpangan Jalan

 

Aku tetap setia menantimu

Menanti di jalan yang engkau janjikan

Tapi apakah engkau menepati janjimu

Ataukah engkau mengulur-ulur janjimu

 

Lalu muncullah seorang kakek tua dari arah Timur

Apakah dia yang dijanjikan itu

Ataukah masih ada orang lain

 

Ya kakek tua berjalan terus

Aku terus menanti orang yang datang dari arah Barat

Aku terus menanti sampai larut malam

Tapi tak ada seorangpun muncul dari arah Barat

 

Aku mulai sadar bahwa yang dijanjikan sudah lewat

Dialah sang kakek tua itu.

Ternyata hatiku masih berada dipersimpangan jalan

Untuk menanti kedatanganMu

 

DIA TELAH DATANG KETIKA HATIKU MASIH BERADA DI PERSIMPANGAN JALAN

AKU KEHILANGAN AKAN JANJI KESELAMATAN YANG DATANG DARI PADANYA

 

 

 


Kamis, 05 Desember 2024

MENGABAIKAN SILA PERTAMA DALAM KAMPANYE POLITIK

 

Oleh

Patrisius Dua Witin

 

Pilpres, Pileg, dan Pilkada telah berakhir meskipun kita tahu bahwa  hampir sebagian masyarakat masih menelan pilpahit dalam ajang pesta Demokrasi. Hal ini terbukti bahwa banyak persoalan yang telah diangkat ke tingkat MK dan juga Bawaslu. Apapun persoalannya tentu diselesaikan dengan damai karena Negara kita harus bergerak maju menuju Kemakmuran, keadilan, dan Kesejahteraan bersama.

Menarik bahwa semua kandidat sangat getol berkampanye  tentang “keadilan” (sila kedua), tentang “persatuan” (sila ketiga), tentang “Demokrasi” (sila keempat), tentang “Kesejahteraan Sosial” (sila kelima). Sementara Sila pertama yang diurutkan paling awal dalam dasar negara kita justru agama yang berurusan dengan “Ketuhanan Yang Mahaesa” dipakai untuk memecah belah para pemilih bahkan diuber-uber menuju ke tingkat sara.

Sila pertama “Ketuhanan Yang Mahaesa”  pertama-tama adalah bertalian dengan negara harus menjamin kebebasan rakyat untuk memilih agamanya sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Kedua, bahwa negara menjamin kebebasan para pemeluk agama untuk mendirikan rumah ibadat agar masyarakat dengan aman menjalankan ibadat sesuai dengan sila pertama. Ketiga bahwa Negara menjamin untuk mengalokasikan dana untuk pembangunan rumah-rumah ibadat.  Bagian kedua dan ketiga menjadi problematika sampai saat ini. Pemerintah hampir menutup mata dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat di lapangan. Katakan saja di beberapa daerah tertentu, betapa sulitnya orang mendirikan rumah ibadat bahkan yang adapun ditutup. Kedua bahwa betapa sulitnya negara mengalokasikan dana untuk merehab dan mendirikan rumah-rumah ibadat.

Tentu hal ini sangat miris jika dihubungkan dengan sila pertama dasar negara kita. Negara harus membuka mata untuk mengkaji kembali implementasi sila pertama karena hampir sebagian besar   masyarakat belum merasakan sepenuhnya dampak pembangunan dari sisi sila pertama Pancasila. Para pendiri bangsa ini tentu lebih jeli melihat betapa pentingnya sila pertama sehingga ditempatkan pada nomor urut pertama dasar negara kita. Kemudian hari para pemimpin negara kita hampir melupakannya bahkan ditempatkan paling terakhir dalam kampanye-kampanye pemilihan kepala negara dan kepala-kepala daerah.

Hebatnya bahwa kita memiliki juga satu kementerian yang mengurus agama. Barangkali pembangunan rumah-rumah ibadat pada setiap agama juga perlu diperhatikan agar masyarakat layak dan pantas menjalankan agama dan kepercayaannya dengan  baik. Guru-guru agama hampir tidak diperhatikan kalau memang diperhatikan juga ditempatkan pada bagian akhir. Sekolah-sekolah di bawah naungan agama-agama terutama agama Katolik semakin jauh dari pantauan negara.  Tugas dan fungsi agama adalah mencerdaskan nurani, mencerdaskan  jiwa, mencerdaskan aklak, martabat manusia sebagai manusia. Hal ini menjadi urusan yang paling penting dalam membangun manusia seutuhnya. Para pemimpin negara dan pemimpin daerah mengunjungi tokoh-tokoh agama dan rumah-rumah ibadat hanya pada saat menjelang pemilu sesudah itu hampir tidak diperhatikan lagi.

Pertanyaannya “APAKAH KEPALA NEGARA DAN KEPALA-KEPALA DAERAH YANG BARUSAN TERPILIH MEMPERHATIKAN PEMBANGUNAN DARI SISI SILA PERTAMA PANCASILA ATAU SAMA SAJA MENGABAIKANNYA? Kita tungguh jawaban dari para pemimpin bangsa kita.