Oleh
Patrisius Dua Witin
Pilpres, Pileg, dan Pilkada telah berakhir meskipun kita tahu bahwa hampir sebagian masyarakat masih menelan pilpahit dalam ajang pesta Demokrasi. Hal ini terbukti bahwa banyak persoalan yang telah diangkat ke tingkat MK dan juga Bawaslu. Apapun persoalannya tentu diselesaikan dengan damai karena Negara kita harus bergerak maju menuju Kemakmuran, keadilan, dan Kesejahteraan bersama.
Menarik bahwa semua kandidat sangat getol berkampanye tentang “keadilan” (sila kedua),
tentang “persatuan” (sila ketiga), tentang “Demokrasi” (sila
keempat), tentang “Kesejahteraan Sosial” (sila kelima). Sementara Sila
pertama yang diurutkan paling awal dalam dasar negara kita justru agama yang berurusan dengan “Ketuhanan Yang Mahaesa” dipakai untuk memecah belah para
pemilih bahkan diuber-uber menuju ke tingkat sara.
Sila pertama “Ketuhanan Yang Mahaesa” pertama-tama adalah bertalian dengan negara harus
menjamin kebebasan rakyat untuk memilih agamanya sesuai dengan kepercayaannya
masing-masing. Kedua, bahwa negara menjamin kebebasan para pemeluk agama untuk
mendirikan rumah ibadat agar masyarakat dengan aman menjalankan ibadat sesuai
dengan sila pertama. Ketiga bahwa Negara menjamin untuk mengalokasikan dana
untuk pembangunan rumah-rumah ibadat.
Bagian kedua dan ketiga menjadi problematika sampai saat ini. Pemerintah
hampir menutup mata dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat di
lapangan. Katakan saja di beberapa daerah tertentu, betapa sulitnya orang
mendirikan rumah ibadat bahkan yang adapun ditutup. Kedua bahwa betapa sulitnya
negara mengalokasikan dana untuk merehab dan mendirikan rumah-rumah ibadat.
Tentu hal ini sangat miris jika dihubungkan dengan
sila pertama dasar negara kita. Negara harus membuka mata untuk mengkaji
kembali implementasi sila pertama karena hampir sebagian besar masyarakat belum merasakan sepenuhnya dampak
pembangunan dari sisi sila pertama Pancasila. Para pendiri bangsa ini tentu
lebih jeli melihat betapa pentingnya sila pertama sehingga ditempatkan pada
nomor urut pertama dasar negara kita. Kemudian hari para pemimpin negara kita
hampir melupakannya bahkan ditempatkan paling terakhir dalam kampanye-kampanye
pemilihan kepala negara dan kepala-kepala daerah.
Hebatnya bahwa kita memiliki juga satu kementerian
yang mengurus agama. Barangkali pembangunan rumah-rumah ibadat pada setiap
agama juga perlu diperhatikan agar masyarakat layak dan pantas menjalankan agama
dan kepercayaannya dengan baik. Guru-guru
agama hampir tidak diperhatikan kalau memang diperhatikan juga ditempatkan pada
bagian akhir. Sekolah-sekolah di bawah naungan agama-agama terutama agama
Katolik semakin jauh dari pantauan negara. Tugas dan fungsi agama adalah mencerdaskan
nurani, mencerdaskan jiwa, mencerdaskan
aklak, martabat manusia sebagai manusia. Hal ini menjadi urusan yang paling
penting dalam membangun manusia seutuhnya. Para pemimpin negara dan pemimpin
daerah mengunjungi tokoh-tokoh agama dan rumah-rumah ibadat hanya pada saat
menjelang pemilu sesudah itu hampir tidak diperhatikan lagi.
Pertanyaannya “APAKAH KEPALA NEGARA DAN
KEPALA-KEPALA DAERAH YANG BARUSAN TERPILIH MEMPERHATIKAN PEMBANGUNAN DARI SISI
SILA PERTAMA PANCASILA ATAU SAMA SAJA MENGABAIKANNYA? Kita tungguh jawaban dari
para pemimpin bangsa kita.