Oleh: Patrisius Dua Witin, CP
Suku Lamaholot mengenal sebutan tuan tanah, lewotanah, tanah ekan, bunga tanah, huke tanah. Sebutan- sebutan ini sangat bermakna dalam hubungannya dengan kekuatan leluhur, religius, magis, dan itu bersentuhan langsung dengan kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu, bagi suku Lamaholot, tanah menjadi urusan yang sakral, kramat dan bertalian erat dengan soal hidup dan mati manusia. Orang bisa saling membunuh dalam perang tanding antar kampung hanya karena mempertahankan batas tanah. Mungkin saja mempertahankan tanah sampai titik darah penghabisan adalah bagian dari mempertahankan harkat dan martabat sebagai menusia yang diciptakan dari debu tanah. Paus Yohanes Paulus II setiap kali dalam kunjungannya ke negara-negara lain, setelah turun dari pesawat, beliau langsung mencium tanah. Orang Dayak Kalbar memiliki ritual “tijak tanah” (injak tanah) bagi tamu-tamu penting yang pertama kali memasuki wilayah mereka. Ketika ada tamu terhormat disambut pertama kali memasuki daerah Kotenwalang, saya teringat akan kata-kata sastra dari seorang penyair yang seringkali diuang-ulang dalam ritual penyambutan adalah “Koten Wulu Matan, Tanah Baloni Bala Sina”. Syair ini mau menggambarkan bahwa tanah Koten memiliki jiwa dan kekuatan para leluhur yang senantiasa melindungi dan menjaga keselamatan setiap penghuninya.Manusia memang punya hak atas
tanah dan dilindungi oleh hukum pertanahan tetapi manusia tidak bisa menciptakan tanah. Tuhan mempunyai hak
atas semua yang hidup dan yang mati termasuk tanah. Alkitab juga berbicara tentang tanah sebanyak 1242 ayat artinya
tanah itu sangat penting bagi manusia. Tuhan
membentuk manusia dari debu tanah (Kej
2:7), kelangsungan hidupnya bergantung dari tanah (Kej 3:19, 4:3) dan kembali menjadi tanah (Kej 3:19). Cuma tiga ayat
ini saja cukup membuktikan bahwa unsur tubuh manusia menurut alkitab hampir
seluruhnya bersumber dari tanah. Oleh karena itu, jangan bermain-main dengan
tanah, mempermainkan tanah dan jangan
bersumpah atas tanah.