Kolotobo,
nama sebuah desa terpencil di bagian ujung Timur kabupaten Flores Timur.
Masyarakatnya hidup dari keterasingan dunia telekomunikasi dan fasilitas
listrik. Mereka dapat bertahan untuk hidup
dengan menghandalkan pertanian lahan kering. Harapan satu-satunya adalah
sedikit hujan di musim hujan untuk mengairi lahan pertanian mereka. Mata
pencaharian utama adalah mengiris tuak untuk membuat minuman yang akan di
jual ke daerah sekitarnya. Pemerintah
sedikit membuka mata pada saatnya bupati Felix Fernades, ketika beliau membuka
jalan pertama kalinya menuju desa Kolotobo. Hingga sampai saat ini kami
masyarakat Kolotobo dapat menikmati jalan menuju ke sana dengan sepeda motor.
Itupun hanya orang tertentu yang mampu membeli sepeda motor. Memang wilayah
kepala burung masih terisolasi termasuk beberapa desa di sekitarnya seperti
Basira, Tone, Koten dan Lewokoli.
Mereka
memiliki religiositas rakyat yang masih kental dengan budaya Lamaholot. Nuba
Nara sebagai Tempat kramat pemujaan kepada leluhur masih ada di sana. Para
tetua adat yang biasanya menceritakan (koda knalan) asal usul tanah Patisira
dan asal usul leluhur mereka masih kuat dalam ingatan mereka. Bagaimanapun juga
mereka dapat mengenal siapa sesungguhnya
mereka ketika mereka menempatkan dirinya dalam struktur budaya Lamaholot. Koten-Kelen
–Hurint- Maran adalah nama-nama suku besar (kebelen) masih di agungkan di
wilayah ini.
Persoalannya:
apakah pemerintah membuka dan mengarahkan pandangannya ke wilayah kepala burung
ini untuk membongkar keterasingan mereka untuk menemukan sesuatu yang baru di
sana?