PENGUNGSI LETUSAN GUNUNG LEWOTOBI
(SEBUAH REFLEKSI)
Patrisius Dua Witin, CP
Pasca letusan gunung Lewotobi masih menyisahkan trauma dan kesengsaraan di tenda-tenda pengungsian. Gerakan kekuatan besar baik perorangan maupun kelompok atas nama “kemanusiaan” untuk mengatasi duka dan derita sudah dan sedang dipertontonkan secara global . Besar kecilnya naluri kemanusian dapat diukur menurut standar “cinta kasih” yang dimiliki oleh setiap orang. Tentu saja tragedi besar ini tidak dapat dipisahkan dari iman kita sebagai pengikut Kristus.
Iman yang sesungguhya adalah iman akan Salib
dan Sengsara Kristus yang akan menjadi Roh atau nafas kesengsaraan manusia di
bumi. Klasifikasi iman akan Yesus Kristus sebagai guru dan Tuhan di bawah
spesies Salib dan Sengsara menjadi sebuah paradoks yang sampai kapanpun akan
terus kerkurung dalam sebuah perdebatan.
Perdebatan terminologi klasik yakni “Salib dan Sengsara” tak akan pernah
selesai karena penderitaan selalu up to date, kontemporer kekal. Ada bahaya
jika perdebatan tentang Salib dan Sengsara terkontaminasi dengan ideologi yang
merujuk pada dua kata sifat yaitu “kritis dan revolusioner”. Kaum Marxis
Kristen dewasa ini merujuk pada Salib atas nama imperatif keadilan, sebaiknya
diwaspadai jika tidak, mereka akan menyerah pada tekanan ideologis yang tidak
terkendali, dan menjadikan iman mereka budak dari sebuah situasi.
Salib dan
Sengsara adalah Kebodohan Allah (Yunani) tetapi yang bodoh dari Allah
tidak hanya menjadi kekuatan dan hikmat Allah tetapi dibodohi oleh orang-orang
bodoh di taman kesenangan dengan meneguk anggur bodoh. Perjuangan kemanusian tidak
hanya sampai pada titik puncak keadilan tetapi harus dilandasi dengan amal
kasih. Allah yang mati di Kayu salib bukan mati bodoh karena Allah mau mati
untuk mengalahkan kematian. Semuanya diselesaikan atas dasar “cinta kasih”. Tak
ada Kasih yang paling besar dari pada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya
bagi sahabat-sahabatnya. Perjuangan atas Salib dan Sengsara para pengungsi
Lewotobi akan sangat bermartabat di
hadapan Allah hanya karena di landasi oleh “cinta kasih”.